Author :
Ika Natassa
Publisher :
Gramedia Pustaka Utama
Pages : 344
pages
Sinopsis
Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah
critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat -tiga
menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing- karena
secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam
rentang waktu sebelas menit itu. It’s when the aircraft is most vulnerable
to any danger.
In a way, it’s kinda the same with
meeting people. Tiga
menit pertama kritis sifatnya karena itu lah kesan pertama terbentuk, lalu ada
delapan menit sebelum berpisah -delapan menit ketika senyum, tindak tandak, dan
ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan menjadi awal
sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam
penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam
berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta
tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun setelah pertemuan itu,
Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka
mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil. Termasuk keputusan pada
sebelas menit paling penting dalam pertemuan mereka.
Diceritakan bergantian dari sudut
pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita
jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.
Short Review
Dikisahkan Aldebaran Risjad seorang petroleum
engineer yang menghabiskan waktunya di rig, yang bertemu seorang management
consultant bernama Tanya Baskoro. Mereka pertama kali bertemu didalam
pesawat, dan akhirnya saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Pertemuan
mereka tidak berakhir disitu, mereka kembali bertemu dan memutuskan untuk
menikah. Tapi pernikahan mereka tak seindah pertemuan pertama, mereka
dihadapkan pada satu masalah besar yang membuat mereka tak seharmonis dulu.
Bagaimana ya akhirnya?
“Hidup memang tidak pernah sedrama di
film, tapi hidup juga tidak pernah segampang di film.”
Diceritakan bergantian dari sudut
pandang Anya dan Ale, membuat aku memahami perasaan yang dirasakan mereka.
Seperti yang kak Ika bilang, kita bisa saja menyukai atau membenci kedua
karakter ini sekaligus. Ternyata memang benar.
Aku suka karakter Ale, walaupun si
tengil Harris Risjad tetep jadi nomer satu sih (baca ulasan Antologi Rasa disini). Laki laki
seperti Ale mungkin jarang ditemukan di dunia ini. Dia begitu tulus mencintai
Anya, ada beberapa penggalan kalimat Ale yang bikin aku meleleh, hehe.
“Kalau memang benar-benar sayang dan
cinta sama perempuan, jangan bilang rela mati buat dia. Justru harus kuat hidup
untuk dia.”
Dengan kamu, aku sudah bakar jembatan,
Nya. I’ve burned my bridge. There’s no turning back. There’s only going
forward, with you.”
Karena beginilah dari dulu gue mencintai
Anya. Tanpa rencana, tanpa jeda, tanpa terbata-bata.
Critical eleven lah yang pertama kali
mengenalkan aku ke karya nya kak Ika Natassa. Dengan desain sampul nya yang catchy
dan sinopsisnya yang bikin penasaran, kak Ika berhasil banget bikin aku jatuh
cinta sama cerita ini. Aku sama sekali ga nyangka novel ini bercerita tentang
manis pahitnya kehidupan rumah tangga, tapi serius deh, bagi kita yang belum
berumah tangga pasti kita akan paham perasaan Ale dan Anya. Juga bagi kita yang
belum menikah, membaca novel ini rasanya bisa membuat kita mulai ngebayangin
kalo pernikahan itu tidak selalu dalam cerita yang manis, tapi kisah pahitnya
pun pasti akan ada juga.
Menurutku,
novel ini recommended untuk kamu penggemar Ika Natassa.
Comments
Post a Comment